Tuhan adalah kesadaran akan kelemahan.
Bayangan dirinya terlihat jelas di dinding kusam yang tak dapat lagi ditebak warnanya. Tubuh kurus yang sedikit membungkuk, rambut putih yang sudah menghilangkan kemudaannya, nafasnya terdengar saling tarik menarik. Terkadang batuk, gemanya tak kalah nyaring. Terkadang menggumam sendiri. Tubuh-tubuh lain terbujur di lantai diam tak terusik. Malam dan siang tak ada ubahnya, sinar matahari tak pernah mau singgah, pengap dan lembab. Butiran-butiran pasir pada jam kehidupan lamban berjatuhan, tercekat pada mulut pipa kaca. Tiada yang pernah perduli pada hari dan waktu, sebab kemarin, hari ini dan esok tiada bedanya. Semua cerita usang.
Bayangan itu masih jelas terlihat di dinding kusam, seakan telah terpatri untuk seumur zaman, tiada berpindah, tiada berubah. Seperti lukisan kelam pada ruang-ruang waktu, hantu-hantu masa lalu yang melekat di semua benak. Bagi mereka yang kalah, pada bayangan tak ada tangisan Bagi mereka kaum pemenang, pada bayangan tak ada senyum kepongahan. Semua sama, sebuah sisi gelap dari kehidupan adalah bayangan.
Baginya bayangan adalah hantu masa lalu yang selalu mengikuti. Tapi bayangan itu telah menjadi teman untuk seumur hidupnya, sejak ia berlari ketakutan ke dekapan ibunya, mendapati manusia hitam yang menyeret-nyeret langkahnya dalam keheningan. Kelak akhirnya ia sadar, bayangan adalah kejujuran. Ia tak pernah menikam, ia teman yang jujur di saat sepi. Andai bayangan dapat berbicara, ia akan bercerita banyak tentang bentuk yang diserupainya. Mungkinkah bayangan adalah malaikat sang pencatat buku putih kehidupan?
Bayangan itu masih terlihat jelas di dinding kusam, tangannya bergerak-gerak. Menuliskan sesuatu. Terkadang terhenti, mengusap-usap matanya. Lampu itu jelas terlihat redup seperti mata tuanya. Pandangannya kembali tertuju pada lembaran-lembaran kertas putih. Belum sebaris katapun ia toreh. Otaknya buntu mencari awal kata yang bagus. Ia tak ingin pada kalimat awal akan mencerminkan kedangkalan isi, atau akan membosankan untuk membaca kelanjutannya. Nafasnya mencari kata-kata, dan ia mulai menulis :
Buat sahabatku,
Sungguh malam ini (bila saat ini memang malam) aku susah untuk memulai. Dari mana awal kata aku akan menuliskannya. Karena hingga kinipun kita masih memperdebatkan tentang awal. Apakah dimulai dari telur atau ayam? Apakah dimulai dari monyet Darwin atau Adam? Tapi kali ini aku tak ingin memperdebatkan soal penciptaan itu, aku hanya ingin mengatakan tentang Sang Pencipta. Aku telah temukan bahwa Tuhan telah mati. Ya, sudah mati.
Sahabatku, jangan engkau cepat tertawa, mengatakanku si atheis yang tak pernah berubah. Karena aku telah lama menderita oleh simbol-simbol atheis itu. Aku muak dengan sikap arogan para pengawal-pengawal tuhanmu. Bukankah kebenaran yang mereka katakan itu melebihi dari dari kuasa tuhannya? Penghakimanan yang mereka lakukan mendahului neraka yang kalian hayalkan. Aku takut di neraka nanti (bila neraka itu ada), justru mereka akan menjadi kayu bakarnya. Aku tahu surga dan neraka itu adalah ciptaan manusia, seperti penjara untuk kaum “pendosa” dan istana untuk kaum “yang benar”. Klaim kebenaran yang tunggal tak ubahnya dengan kekuasaan yang tunggal. Sama-sama menyesatkan. Adalah hak setiap orang bertanya tentang penciptaan dirinya, hak setiap orang memandang tentang tuhan.
Sahabatku seandainya saat ini mulutku dipaksa berkata saya adalah manusia yang bertuhan, aku akan mengatakan tuhan itu adalah saya. Tapi aku akan muntah berkata seperti itu, karena aku tak mau seperti tuhan. Bukankah tuhan simbol dari keabsloutan, sesuatu yang tak bisa dipertanyakan, esa adanya (itu teori-teorimu). Dan aku adalah mahluk yang masih terus berpikir dan bertanya-tanya. Aku bukan manusia absolut, kebenaranku masih bisa di perdebatkan, aku tak ingin menyesatkan oleh klaim-klaim kebenaran tunggal. Tapi aku pun bukan nabi, walau nabi selalu tak bisa diterima pada jamannya. Karena kebenaran bukanlah milik tunggal sang nabi, kebenaran adalah pencarian dari pencerahan kehidupan. Mata sang nabi saat itu mungkin lebih beruntung dapat membaca kebenaran itu, tapi sekali lagi aku katakan, kebenaran itu bukan miliknya. Dan itu bukan harga mati lagi.
Aku tak akan memberi nubuatan-nubuatan atau perkara-perkara keajaiban. Tak akan ada ramalan akan masa depan, atau akhir dari dunia ini yang akan aku katakan. Aku hanya berpikir dan berbicara. Melihat dan mendengar. Merasakan dan menyimpulkan. Semua itu penuh gejolak, seperti saat menerima kotbah-kotbahmu pada puluhan-puluhan kertas surat yang aku terima sepanjang hidupku. Aku berperang dengan diriku sendiri, hingga akhirnya logika-logika ku pun kalah. Dan pada suratmu yang terakhir kau berkata, bahwa tuhan menciptakan manusia bukan untuk menderita, tapi untuk bahagia.
Sahabatku, aku mencari kebahagiaan yang kau tawarkan. Aku ingin merasakan cuilannya. Tapi aku tak pernah mendapatkannya, aku tak menemukan kebahagian itu, aku tak menemukan tuhanmu. Apakah ia telah tuli dan buta? Aku telah terus mengetuk pintunya, dan tanganku telah bernanah. Aku telah meminta, mulutku berbusa tak ubahnya bagai orang kesurupan (mungkinkah aku kerasukan setan tuhanmu).
Jangan kau katakan aku terlalu lemah dan tak penyabar, bukan hanya aku yang merasakan itu. Jutaan anak negeri ini pun seperti itu. Negeri ini tak bertuan, negeri ini tak bertuhan lagi. Aku tak sendiri. Jutaan orang sudah muak dengan dogma usang yang mengatakan setiap penderitaan adalah kehendak tuhan, cobaan darinya. Tidakkah dia tahu bahwa manusia juga punya batas kelemahan dan kesabaran. Aku rasa dogma itu membunuh pikiran kita. Membunuh kesadaran kita untuk berusaha dengan akal sehat sendiri. Aku bukan mengajak berpikir soal materialis. Aku juga tak mau diajak berpikir tentang hal-hal suci yang semu, terlalu mistik bagiku.
Aku juga bukan hendak membujukmu untuk berpaling pada komunisme yang tak bertuhan. Justru komunisme itu bertuhan, malah bertuhan dari orang-orang yang bertuhan. Komunis memberhalakan tuhan, tuhan yang paling tolol dibanding tuhan-tuhan lainnya. Mereka memperjuangkan sistim aturan kehidupan, yang diperjuangkan itu adalah tuhan mereka. Komunis adalah tuhan yang dibangun dengan cara paling sadar. Kesadaran bahwa mereka adalah lemah, penuh ketakutan sehingga memerlukan sang penolong, sesuatu yang lebih agung dari mereka. Tuhan adalah kesadaran akan kelemahan. Tuhan adalah sistim aturan yang abadi bagi mereka. Sama seperti tuhan milik agama-agama yang menakuti manusia dengan neraka dan surga, tuhannya komunisme pun menciptakan surga dan neraka. Neraka dan surga itu diciptakan untuk menimbulkan kekhawatiran, sehingga ketakutan pada hukuman dan ketidakpastian itulah yang menyebabkan berlindung di bawah ajaran-ajaran yang dianggap sebagai kebenaran dan kepastian. Aku bisa menyimpulkan, komunis bukanlah pilihan hidup seperti juga halnya dengan agama-agama, selama kalian berpikir dengan cara pandang hasil yaitu surga. Sebuah perjuangan kebenaran yang suci tidak mengenal perhitungan, tidak memikirkan imbalan, semua seharusnya penuh pengorbanan dan kasih.(www.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar