Kamis, 03 Juni 2010

Tuhan Telah Mati (TTM)– Bagian 2

Mereka ramai-ramai membakar pabrik, membakar lumbung padi mereka, membakar meja makan mereka, menjungkir balikkan tempat menanak nasi. Dan menari di atas perapian dapur, mengencingi tungku api.
Kembali ke perkataanku tadi bahwa negeri ini tak bertuan, tak bertuhan lagi. Aku telah menyaksikan kaum penyabar ini telah menjadi berang. Doa-doa tak mempan lagi, puja-puji pada tuhan tak didengar lagi. Kebenaran yang diyakini menjadi pedang bermata dua, melukai sekaligus terlukai. Semua mencoba untuk bertahan di jalan kebenaran, semua mencoba untuk menghadapi cobaan, karena katanya sang penyabar akan mendapat rahmat yang berlimpah. Tapi ketika kita menarik nafas, kitapun harus bergantian menghembuskannya. Ketika dada kita mulai sesak, kita pun harus mengosongkannya. Kita tak bisa menerima sekaligus, cobaan yang bertubi-tubi dan rahmat yang tak kunjung datang.
Sahabatku, kemanakah tuhanmu? Apakah ia telah bosan mendengar doa-doa kita? Atau tuhan telah lama mati? Manusia berserakkan kelaparan, negeri ini kaya tapi kita bodoh. Tak seperti Israel yang miskin tapi pintar, mereka tak bertanah tapi diakui keberadaannya. Negeri ini subur tapi banyak yang mati diatasnya (tapi aku tak mau bila kita disamakan dengan semut yang mati di dalam karung gula). Kita bukan mati kekenyangan, kita mati kelaparan. Tak ada lagi peruntungan di negeri ini.
Jutaan manusia resah dengan harga yang makin melambung, semua tak terbeli. Barang-barang itu dihasilkan oleh keringat kita, tapi kita tak mampu mengecapnya, memimpikannyapun akan memenjarakan kita. Melihatnya akan menimbulkan iri, sirik. Bukankah itu dilarang oleh tuhanmu? Tapi kita tak buta oleh itu, kita perlu makan. Kita perlu hidup. Dan agama tak mampu mengenyangkan itu. Surga hanya untuk orang mati, apakah neraka untuk orang hidup?
Dan banyaklah orang yang memilih jalan itu. Perampasan milik orang lain menjatuhkan korban. Pembunuhan tak lagi menakutkan. Semua menikam untuk dapat bertahan hidup detik itu. Semua bersenjata untuk dapat membela diri. Lapar membunuh kesabaran. Keputusasaan mengiris keyakinan bahwa tuhan masih mau mendengar doa-doa mereka.
Lihatlah moral tak lagi ada, nilai-nilai itu semua telah sirna. Kakek memperkosa cucunya, paman meniduri keponakannya, bapak menindih anaknya. Para suami berselingkuh, istripun tak mau kalah (mungkin bentuk emanispasi gaya baru). Para gadis tak mau lama-lama menyandang gelar perawan, para pemuda matanya buas. Aborsi jadi barang mainan. Para sundal bukan lagi barang langka, ia jadi dagangan laris bak menjual kacang tanah yang dimasak pada pasir panas. Lembaran-lembaran media penuh gambar telanjang, media elektronik mempertontonkan erotisnya senggama. Dengusnya merasuki hari-hari, udara sangat najis penuh dengus nafas, kini tak lagi tertahan sudah lepas.
Penipuan tak lagi menyajikan simbol-simbol seram, seperti cerita dongeng-dongeng pengantar tidur dulu. Mereka tak lagi bertaring, air liurnya tak kelihatan menetes. Mulut mereka manis walau tak ada desis seperti ular atau setan. Tak bau. Mereka lebih mulia terlihat dari para malaikat. Terdidik dan sopan. Tapi otaknya sungguh lihai mencari kaum yang lemah. Mulutnya sungguh pintar mengumbar janji mengalahkan pemuka agama yang menjanjikan surga. Surga dunia lebih realistik dari pada surga milik tuhan untuk saat ini. Hari-hari saling menipu, saling mengintip, saling mencari kelemahan.
Kesabaran juga tak bisa ditahan oleh sistem. Demokrasi menjadi setan bertopeng badut. Buruh tak mau lagi berlama-lama bertahan dalam perjuangannya. Mogok kerja seperti pekerjaan sia-sia. Mogok makan pada saat perut telah lama lapar sama saja dengan kebodohan. Dialog sama saja memberi mimbar agar mereka dibohongi selalu, janji-janji sudah jadi mitos pembelaan tanpa hasil. Sakit hati mengalahkan niatan yang suci. Mereka ramai-ramai membakar pabrik, membakar lumbung padi mereka, membakar meja makan mereka, menjungkir balikkan tempat menanak nasi. Dan menari di atas perapian dapur, mengencingi tungku api. Sungguh mereka mematikan jalan hidup mereka sendiri, dendam dan emosi yang lebih berkuasa.
Sahabat kemana tuhanmu?
Tapi aku tak juga pungkiri di daerah sana ada yang masih menaikkan panji-panji kebesaran tuhan-tuhan mereka. Mereka saling berperang demi nama besar tuhan masing-masing. Apakah tuhan mereka mahluk lemah sehingga harus dibela? Mungkin sama seperti para preman yang saling membunuh untuk merebut daerah kekuasaannya, lahan parkir. Mungkin mereka pikir, tuhan juga perlu wilayah kekuasaan baru. Perlu manusia-manusia jajahan baru untuk dijadikan bala tentara tuhannya. Sungguh sebenarnya mereka melemahkan harga diri tuhan mereka. Atau ada hal lain selain itu? Atau tuhan sedang menikmati segala tontonan pertempuran itu sehingga melupakan daerah lainnya?
Aku tadi telah mengatakan negeri ini tak bertuan, negeri ini tak bertuhan lagi. Sungguh itulah yang terjadi, negeri ini tak bertuan. Bukankah tuan negeri ini adalah rakyat. Itu telah lama dikebiri, rakyat menjadi obyek bukan subyek. Kekuasaan telah menjadi milik penguasa, kekuasaan adalah tuhan mereka. Kuasa tuhan telah diganti dengan kuasa uang. Sesuatu yang maha suci diganti dengan yang maha hina. Rakyat dipecah berserakkan dan meratap pada perut mereka. Kedaulatan tak mampu lagi diambil rakyat, karena rakyat tak lagi bisa bersatu, semua memikirkan perut-perut mereka. Sungguh negeri ini tak lagi bertuan, tak ada lagi kedaulatan rakyat. Yang ada hanyalah, negeri ini dikuasai oleh mereka yang menetapkan dirinya sendiri menjadi wakil rakyat. Mereka menjadi tengkulak negeri ini, mereka para pedagang-pedagang keringat rakyat, mereka menggadaikan negeri ini.
Sungguh cermin negeri ini bertuhan tak ada lagi. Lihatlah para pemimpin-pemimpin itu. Mereka bertuhan, mereka panutan, mereka tokoh-tokoh agama. Apakah prilaku cermin manusia yang suci ada pada mereka? Melihat suatu negeri bertuhan atau tidak dapat di lihat pada tindak laku pemimpinnya. Mereka mengangkat panji-panji agama, merekapun menyuarakan suara-suara kebohongan. Mereka mengobral janji-janji pada pemilu seperti mengobral surga. Agama telah dijadikan komoditi politik, agama dipakai untuk menenangkan kaum tertindas (memakai tameng takdir). Tuhan telah dipakai sebagai bodyguard, cecunguk yang akan dibuang bila tak lagi jawara.
Sahabatku, mungkin dari mulutmu sudah terlontar berjuta kata maki padaku. Aku tahu perasaanmu, ketika aku mengatakan tuhan telah mati. Aku tahu perasaan mereka yang telah terbius agama tanpa pernah berpikir merdeka dan mempertanyakan kebenaran yang diyakininya. Jangan pernah jadi pengikut agama, karena kau akan seperti kerbau yang dicucuk hidungnya dan ditarik kesana ke mari tanpa berontak, pasrah. Menjadi pengikut agama akan membutakan akal sehatmu, memenjarakan kemerdekaan pikiranmu untuk mempertanyakan yang kau yakini itu. Kalau aku boleh memberi saran, mungkin ini yang terbaik bagimu dan yang terjelek bagiku, jangan pernah jadi pengikut siapa pun (menjadi pengikutku pun jangan pernah), jadilah bertuhan saja.
Sahabatku akhir kata aku ucapkan banyak terimakasih atas waktu yang telah kau berikan untuk membaca surat ini atau surat-surat yang terdahulu. Jangan pernah ejek aku sebagai atheis (karena aku telah lama menderita oleh simbol-simbol atheis itu), aku tidak atheis. Dari awal telah aku katakan, bahwa tuhan telah mati, bukankah itu berarti aku mengakui keberadaan tuhan? Kalau dadamu saat ini berdegup marah, dadaku saat ini berdegup kencang. Aku sedih. Aku menangis sahabat, akan kematian tuhan. Semoga aku salah duga, kalau tuhan masih hidup kabari aku segera, aku telah rindu jamahanNya, kasihNya yang tulus. Telah lama aku tak memanjatkan pujian suci padaNya, telah lama pula Tuhan tak bersenandung di hatiku, menghibur resahku, mengusir galauku. Tapi aku masih ragu akan itu, jikalau tuhan hidup bukankah ia akan mendengar darah yang menangis, jerit kesakitan, nyawa-nyawa yang melayang entah di mana, tangis kaum lemah yang tertipu, dengus najis birahi, doa-doa pengobral kebohongan.
Di sini aku mendapatkan banyak manusia-manusia yang di hatinya tuhan itu telah lama mati, mungkin juga di tempatmu dan di tempat lainnya. Dan aku masih mencari kuburannya.
Dari sahabatmu,
Pagi itu adalah hari kemerdekaan yang telah lama dilupakan, kebebasannya. Hampir separuh hidup lelaki tua itu dihabiskan di sini, bersama mimpi dan bayangannya. Tak ada kekhawatiran, karena hidup tak lagi mau menjamahnya. Tak lagi ada masa lalu, kini dan masa depan. Semua telah lenyap dalam keterbatasannya.
Pria yang berseragam rapi itu masuk ke dalam biliknya, menyerahkan sebuah surat pembebasan. Di atas meja ia mendapatkan lelaki tua itu kaku tertelungkup bersama sebuah surat yang kemarin malam ditulisnya. Untuk seorang sahabatnya, teman seperjuangan dulu di tahun 1965. Di balik amplop tertulis sebuah pesan :
Bila aku mati lebih dahulu, aku tak akan mencari kuburNya,
biarlah Tuhan yang mencari kuburku.
Dan aku akan mencoba untuk bertemu dengan Tuhan, semoga Ia mau
.(www.kompasiana.com)

Tidak ada komentar: