Selasa, 22 Juni 2010
Djakarta
Jumat, 11 Juni 2010
NIETZSCHE DAN KEMATIAN TUHAN DALAM SEBUAH REFLEKSI
Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/
Ini bukan omong kosong, melainkan sesuatu yang benar-benar terjadi. Ini adalah realitas kehidupan dari dulu hingga sekarang. Fenomena ini kerap dipandang sebelah mata oleh kalangan-kalangan tetentu, padahal jika mereka bersedia menelisik kedalaman makna, mereka akan menemukan sesuatu yang besar yang sanggup dijadikan perenungan, permenungan serta refleksi terhadap realitas yang ada. Mereka tidak akan menganggap bahwa kata-kata ini bukan sebuah kata bualan yang terpancar dari mulut seorang radikal ateistik. Andaikan kata-kata ini benar merupakan ujaran dari seorang radikal ateistik, paling tidak mereka dapat mengambil sisi baiknya, sebab segala sesuatu yang ada pasti mengandung nilai yang dapat diambil dan dijadikan sebuah pembelajaran bagi diri pribadi.
Coba, cermati serta telisik kembali ungkapan ini serta kantongi nilai-nilainya. Ini merupakan harapan serta tantangan bagi anda semua untuk bisa menghargai kata-kata atau pengujarnya agar tidak selalu berpandangan picik atau culas terhadap realitas hidup dan kehidupan yang sedang menyapa.
“Tuhan telah mati!”! Ungkapan Nietzsche dalam Sabda Zaratustranya inilah yang dari zaman dahulu sampai sekarang seolah-olah menjelma sebagai virus dalam diri manusia. Virus ini terus menggerogoti logika dan perasaan manusia. Ungkapan ini selalu dianggap sebagai virus yang mematikan yang harus segera dibumihanguskan. Padahal jika diperhatikan lebih jauh, ungkapan ini merupakan cambuk pengingat bagi mereka yang telah lalai. Cambuk bagi mereka yang selalu mengutamakan esensi dan eksistensi pribadi hingga mereka menjual, mematahakan dan bahkan membunuh eksistensi Tuhan dalam dirinya.
Ungkapan “Tuhan telah mati”mengandung nilai filosofis yang begitu dahsyat. Kematian ini bukan mengarah pada kematian esensi (dzat), melainkan mengarah pada kematian eksistensi (wewenang dan perintah) Tuhan dalam diri seorang manusia..
Secara kodrati, dzat Tuhan bersifat kekal dan abadi. Keberadaanya selalu ada melampaui ruang dan waktu serta menjadi poros kehidupan. Begitu juga dengan eksistensi Tuhan. Secara kodrati eksistensi Tuhan juga bersifat kekal dan abadi, namun dalam realitasnya eksistensi inilah yang kerapa dikebiri oleh pribadi seseorang. Ia kerapa dibantai dan ditiadakan.
Bentuk pembantaian serta peniadaan eksistensi Tuhan mungkin terlihat jelas pada waktu itu, sehingga dengan seketika pula Nietzsche mengujarkan kata-kata tersebut. Pada waktu itu manusia banyak yang beralih pandangan. Mereka selalu mengejar kenikmatan duniawi yang bersifat sementara dibandingkan dengan mengabdi kepada Tuhan. Mereka menghalalkan segala cara demi kepuasan tersebut. Mereka kerap berbuat curang, culas terhadap sesama, dan bahkan mereka kerap membuat kerusakan-kerusakan di muka bumi hanya demi kepuasan nafsiahnya semata. Di sinilah letak pembantaian dan peniadaan eksistensi Tuhan dalam diri seorang manusia. Wewenang dan perintah-Nya untuk bertaqwa dan tidak membuat kerusakan di muka bumi telah di kebiri dan di tiadakan dari dalam diri pribadinya. Tuhan seolah tidak ada hingga mereka berbuat sewenang-wenang dan semaunya.
Tidakkah telah terungkap jelas, bahwa nafsulah yang telah mengantarkan manusia berada dalam lembah kesesatan. Dialah pengantar manusia untuk berbuat ingkar kepada Tuhan. Olehnya, manusia kini telah beralih melakukan pengagungan dan pemujaan terhadap hakekat Tuhan yang sejati. Manusia telah beralih menuhankan benda-benda, harta, tahta dan lain sebagainya yang merupakan perhiasan dunia yang bersifat semu dan menipu. Orientasi hidupnya kini telah berbelok menuju kebendaan duniawi.
Berkaitan dengan hal tersebut, fenomena semacam itu juga telah dilukiskan beberapa puluh tahun yang lalu sebelum adanya konsep Nietzcsche. Tindakan semacam ini dilakukan oleh Karl Marx. Pada saat itu ia mengkritisi realitas sosial yang terjadi dengan mengatakan bahwa “Agama Itu Candu”. Realitas sosial sudah kacau balau. Agama sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Agama hanya berposisi sebagai alat pemuas kebutuhan nafsiah manusia. Agama hanya dijadikan tunggangan dalam mempertinggi stratifikasi sosial, dan juga untuk mengeruk harta kekayaan demi kepentingan personal seseorang.
Terdapat satu fenomena lain dari konsep ujaran Nietzsche. Konsep ini mungkin juga diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar mengabdikan diri terhadap hakekat Tuhan yang sejati. Bagi mereka yang benar-benar mengorientasikan diri hanya kepada hakekat Tuhan yang sejati, maka esensi dan eksistensi tuhan-tuhan yang lain akan ditiadakan. Tuhan yang bersifat kebendaan akan ia bantai habis-habisan, hingga pesonanya tidak ada lagi melekat di dalam diri seorang individu. Contoh saja agama Islam. Dalam agama Islam sudah terlihat jelas lewat kesaksian yang dibuat oleh para pemeluknya. Secara konseptual kesaksian ini berlaku bagi siapa saja yang hendak masuk dalam agam tersebut. Semua orang pasti mengikrarkan ungkapan ini, yaitu ikrar yang bersifat peniadaan terhadap Tuhan yang bersifat kebendaan. Mereka hanya meyakini hanya ada satu Tuhan yaitu Allah. Dialah yang dijadikan sandaran dan tujuan hidup bagi mereka. Dia diyakini sebagai sesuatu yang bersifat kekal, abadi, kuasa, dsan sempurna.
Dalam realitasnya, konsep ini telah ditanamkan bagi siapa saja yang memeluk agama Islam, namun dalam praktik yang sebenarnya masih perlu dipertanyakan. Pertanyaan yang timbul adalah: sudahkah para pemeluk agama Islam menerapakna dengan sepenuh hati konsep tersebut dalam hidup dan kehidupanya? Sudahkah mereka melakukan pembunuhan dan pembantaian terhadap segala sesuatu yang besifat kebendaan dan hanya berorientasi pada Allah semata? Ini menjadi tantangan besar bagi umat Islam untuk melakukan penerapan secara real bukan hanya sekedar dijadikan lipstik atau kaligrafi yang disakralkan.
Coba tengok lebih jauh lagi tentang pembunuhan dan pembantaian Tuhan. Fenomena yang terjadi di dalam dunia sufistik, bahwa ungkapan Tuhan sudah tidak ada lagi. Ungkapan ini mereka ganti dengan istilah kekasih. Tuhan yang notabenenya masih bersifat plural, mereka spesifikkan dengan kata Kekasih. Mereka menggapai dan menuju Tuhan bukan sebagai Tuhan lagi, melainkan sebagai Kekasih yang harus didekati dengan cinta bukan dengan ketakutan-ketakutan. Mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang diberikan Tuhan kepada manusia tidak lain adalah bentuk kasih sayang-Nya, sehingga cara pendekatan diri pun harus dilakukan dengan cinta dan kasih sayang pula.
Perhatikan ungkapan yang diujarkan oleh seorang “Pir” pada Abu Sa’id saat ia berilustrasi hendak bertemu dengan Tuhan. Saat Abu Said ditanya: “Apakah kau ingin bertemu Tuhan?”. Jawab Abu Sa’id: “Tentu saja aku ingin”. Kemuduan “Pir” itu menjawab: ”Jika demikian, kapan pun saat kau sendirian, lantunkan syair ini:
“Tanpa Dikau, oh, Kekasih, setitik pun aku tidak bisa tenang;
Kebaikan-Mu terhadapku tak sanggup kubalas.
Sekali pun setiap helai rambut di tubuhku menjadi lidah,
Ribuan syukur terhadap-Mu tak akan bisa kudaras.”
Dalam syair tersebut dikatakan bahwa Tuhan diibaratkan atau disimbulkan sebagai Kekasih. Ia telah melimpahkan begitu banyak kasih sayang terhadap manusia, sehingga beribu syukur dan terima kasih yang diucapkan seorang manusia terhadap-Nya masih tidak sanggup untuk membalas cinta kasih-Nya, bahkan seumpama helaian rambut yang ada pada tubuh manusia menjelma menjadi lidah dan saling mengucap syukur kepada-Nya, itu pun masih tidak sanggup membalas banyaknya cinta kasih yang telah dianugrahkan kepadanya. Oleh sebab itu, dalam ajaran Islam, setiap kali seseorang hendak melakukan sesuatu hal, ia disunnahkan untuk membaca basmalah. Ini menunjukkan akan bentuk kesaksian terhadap cinta kasih Tuhan yang esa.
Semua orang mengetahui, bahwa seorang sufi selalu mengorientasikan hidup dan kehidupanya hanya kepada Tuhan. Yang ia tuju hanyalah esensi dan eksistensi Tuhan semata. Hal tersebut kerap tercermin melalui ungkapan-ungkapanya, termasuk ungkapan syair di atas yang mengibaratkan Tuhan sebagi Sang Kekasih. Perlu dijadikan catatan, bahwa pengungkapan tersebut merupakan simbol semata. Masih banyak simbol-simbol lain yang merupakan bentuk pembantaian dan pembunuhan terhadap penuhanan benda-benda keduniawian, yaitu harta, tahta, dan lain sebagainya.
Kamis, 03 Juni 2010
Tuhan Telah Mati (TTM)– Bagian 2
Kembali ke perkataanku tadi bahwa negeri ini tak bertuan, tak bertuhan lagi. Aku telah menyaksikan kaum penyabar ini telah menjadi berang. Doa-doa tak mempan lagi, puja-puji pada tuhan tak didengar lagi. Kebenaran yang diyakini menjadi pedang bermata dua, melukai sekaligus terlukai. Semua mencoba untuk bertahan di jalan kebenaran, semua mencoba untuk menghadapi cobaan, karena katanya sang penyabar akan mendapat rahmat yang berlimpah. Tapi ketika kita menarik nafas, kitapun harus bergantian menghembuskannya. Ketika dada kita mulai sesak, kita pun harus mengosongkannya. Kita tak bisa menerima sekaligus, cobaan yang bertubi-tubi dan rahmat yang tak kunjung datang.
Sahabatku, kemanakah tuhanmu? Apakah ia telah bosan mendengar doa-doa kita? Atau tuhan telah lama mati? Manusia berserakkan kelaparan, negeri ini kaya tapi kita bodoh. Tak seperti Israel yang miskin tapi pintar, mereka tak bertanah tapi diakui keberadaannya. Negeri ini subur tapi banyak yang mati diatasnya (tapi aku tak mau bila kita disamakan dengan semut yang mati di dalam karung gula). Kita bukan mati kekenyangan, kita mati kelaparan. Tak ada lagi peruntungan di negeri ini.
Jutaan manusia resah dengan harga yang makin melambung, semua tak terbeli. Barang-barang itu dihasilkan oleh keringat kita, tapi kita tak mampu mengecapnya, memimpikannyapun akan memenjarakan kita. Melihatnya akan menimbulkan iri, sirik. Bukankah itu dilarang oleh tuhanmu? Tapi kita tak buta oleh itu, kita perlu makan. Kita perlu hidup. Dan agama tak mampu mengenyangkan itu. Surga hanya untuk orang mati, apakah neraka untuk orang hidup?
Dan banyaklah orang yang memilih jalan itu. Perampasan milik orang lain menjatuhkan korban. Pembunuhan tak lagi menakutkan. Semua menikam untuk dapat bertahan hidup detik itu. Semua bersenjata untuk dapat membela diri. Lapar membunuh kesabaran. Keputusasaan mengiris keyakinan bahwa tuhan masih mau mendengar doa-doa mereka.
Lihatlah moral tak lagi ada, nilai-nilai itu semua telah sirna. Kakek memperkosa cucunya, paman meniduri keponakannya, bapak menindih anaknya. Para suami berselingkuh, istripun tak mau kalah (mungkin bentuk emanispasi gaya baru). Para gadis tak mau lama-lama menyandang gelar perawan, para pemuda matanya buas. Aborsi jadi barang mainan. Para sundal bukan lagi barang langka, ia jadi dagangan laris bak menjual kacang tanah yang dimasak pada pasir panas. Lembaran-lembaran media penuh gambar telanjang, media elektronik mempertontonkan erotisnya senggama. Dengusnya merasuki hari-hari, udara sangat najis penuh dengus nafas, kini tak lagi tertahan sudah lepas.
Penipuan tak lagi menyajikan simbol-simbol seram, seperti cerita dongeng-dongeng pengantar tidur dulu. Mereka tak lagi bertaring, air liurnya tak kelihatan menetes. Mulut mereka manis walau tak ada desis seperti ular atau setan. Tak bau. Mereka lebih mulia terlihat dari para malaikat. Terdidik dan sopan. Tapi otaknya sungguh lihai mencari kaum yang lemah. Mulutnya sungguh pintar mengumbar janji mengalahkan pemuka agama yang menjanjikan surga. Surga dunia lebih realistik dari pada surga milik tuhan untuk saat ini. Hari-hari saling menipu, saling mengintip, saling mencari kelemahan.
Kesabaran juga tak bisa ditahan oleh sistem. Demokrasi menjadi setan bertopeng badut. Buruh tak mau lagi berlama-lama bertahan dalam perjuangannya. Mogok kerja seperti pekerjaan sia-sia. Mogok makan pada saat perut telah lama lapar sama saja dengan kebodohan. Dialog sama saja memberi mimbar agar mereka dibohongi selalu, janji-janji sudah jadi mitos pembelaan tanpa hasil. Sakit hati mengalahkan niatan yang suci. Mereka ramai-ramai membakar pabrik, membakar lumbung padi mereka, membakar meja makan mereka, menjungkir balikkan tempat menanak nasi. Dan menari di atas perapian dapur, mengencingi tungku api. Sungguh mereka mematikan jalan hidup mereka sendiri, dendam dan emosi yang lebih berkuasa.
Sahabat kemana tuhanmu?
Tapi aku tak juga pungkiri di daerah sana ada yang masih menaikkan panji-panji kebesaran tuhan-tuhan mereka. Mereka saling berperang demi nama besar tuhan masing-masing. Apakah tuhan mereka mahluk lemah sehingga harus dibela? Mungkin sama seperti para preman yang saling membunuh untuk merebut daerah kekuasaannya, lahan parkir. Mungkin mereka pikir, tuhan juga perlu wilayah kekuasaan baru. Perlu manusia-manusia jajahan baru untuk dijadikan bala tentara tuhannya. Sungguh sebenarnya mereka melemahkan harga diri tuhan mereka. Atau ada hal lain selain itu? Atau tuhan sedang menikmati segala tontonan pertempuran itu sehingga melupakan daerah lainnya?
Aku tadi telah mengatakan negeri ini tak bertuan, negeri ini tak bertuhan lagi. Sungguh itulah yang terjadi, negeri ini tak bertuan. Bukankah tuan negeri ini adalah rakyat. Itu telah lama dikebiri, rakyat menjadi obyek bukan subyek. Kekuasaan telah menjadi milik penguasa, kekuasaan adalah tuhan mereka. Kuasa tuhan telah diganti dengan kuasa uang. Sesuatu yang maha suci diganti dengan yang maha hina. Rakyat dipecah berserakkan dan meratap pada perut mereka. Kedaulatan tak mampu lagi diambil rakyat, karena rakyat tak lagi bisa bersatu, semua memikirkan perut-perut mereka. Sungguh negeri ini tak lagi bertuan, tak ada lagi kedaulatan rakyat. Yang ada hanyalah, negeri ini dikuasai oleh mereka yang menetapkan dirinya sendiri menjadi wakil rakyat. Mereka menjadi tengkulak negeri ini, mereka para pedagang-pedagang keringat rakyat, mereka menggadaikan negeri ini.
Sungguh cermin negeri ini bertuhan tak ada lagi. Lihatlah para pemimpin-pemimpin itu. Mereka bertuhan, mereka panutan, mereka tokoh-tokoh agama. Apakah prilaku cermin manusia yang suci ada pada mereka? Melihat suatu negeri bertuhan atau tidak dapat di lihat pada tindak laku pemimpinnya. Mereka mengangkat panji-panji agama, merekapun menyuarakan suara-suara kebohongan. Mereka mengobral janji-janji pada pemilu seperti mengobral surga. Agama telah dijadikan komoditi politik, agama dipakai untuk menenangkan kaum tertindas (memakai tameng takdir). Tuhan telah dipakai sebagai bodyguard, cecunguk yang akan dibuang bila tak lagi jawara.
Sahabatku, mungkin dari mulutmu sudah terlontar berjuta kata maki padaku. Aku tahu perasaanmu, ketika aku mengatakan tuhan telah mati. Aku tahu perasaan mereka yang telah terbius agama tanpa pernah berpikir merdeka dan mempertanyakan kebenaran yang diyakininya. Jangan pernah jadi pengikut agama, karena kau akan seperti kerbau yang dicucuk hidungnya dan ditarik kesana ke mari tanpa berontak, pasrah. Menjadi pengikut agama akan membutakan akal sehatmu, memenjarakan kemerdekaan pikiranmu untuk mempertanyakan yang kau yakini itu. Kalau aku boleh memberi saran, mungkin ini yang terbaik bagimu dan yang terjelek bagiku, jangan pernah jadi pengikut siapa pun (menjadi pengikutku pun jangan pernah), jadilah bertuhan saja.
Sahabatku akhir kata aku ucapkan banyak terimakasih atas waktu yang telah kau berikan untuk membaca surat ini atau surat-surat yang terdahulu. Jangan pernah ejek aku sebagai atheis (karena aku telah lama menderita oleh simbol-simbol atheis itu), aku tidak atheis. Dari awal telah aku katakan, bahwa tuhan telah mati, bukankah itu berarti aku mengakui keberadaan tuhan? Kalau dadamu saat ini berdegup marah, dadaku saat ini berdegup kencang. Aku sedih. Aku menangis sahabat, akan kematian tuhan. Semoga aku salah duga, kalau tuhan masih hidup kabari aku segera, aku telah rindu jamahanNya, kasihNya yang tulus. Telah lama aku tak memanjatkan pujian suci padaNya, telah lama pula Tuhan tak bersenandung di hatiku, menghibur resahku, mengusir galauku. Tapi aku masih ragu akan itu, jikalau tuhan hidup bukankah ia akan mendengar darah yang menangis, jerit kesakitan, nyawa-nyawa yang melayang entah di mana, tangis kaum lemah yang tertipu, dengus najis birahi, doa-doa pengobral kebohongan.
Di sini aku mendapatkan banyak manusia-manusia yang di hatinya tuhan itu telah lama mati, mungkin juga di tempatmu dan di tempat lainnya. Dan aku masih mencari kuburannya.
Dari sahabatmu,
Pagi itu adalah hari kemerdekaan yang telah lama dilupakan, kebebasannya. Hampir separuh hidup lelaki tua itu dihabiskan di sini, bersama mimpi dan bayangannya. Tak ada kekhawatiran, karena hidup tak lagi mau menjamahnya. Tak lagi ada masa lalu, kini dan masa depan. Semua telah lenyap dalam keterbatasannya.
Pria yang berseragam rapi itu masuk ke dalam biliknya, menyerahkan sebuah surat pembebasan. Di atas meja ia mendapatkan lelaki tua itu kaku tertelungkup bersama sebuah surat yang kemarin malam ditulisnya. Untuk seorang sahabatnya, teman seperjuangan dulu di tahun 1965. Di balik amplop tertulis sebuah pesan :
Bila aku mati lebih dahulu, aku tak akan mencari kuburNya,
biarlah Tuhan yang mencari kuburku.
Dan aku akan mencoba untuk bertemu dengan Tuhan, semoga Ia mau.(www.kompasiana.com)
Tuhan Telah Mati (TTM)–bagian1
Bayangan dirinya terlihat jelas di dinding kusam yang tak dapat lagi ditebak warnanya. Tubuh kurus yang sedikit membungkuk, rambut putih yang sudah menghilangkan kemudaannya, nafasnya terdengar saling tarik menarik. Terkadang batuk, gemanya tak kalah nyaring. Terkadang menggumam sendiri. Tubuh-tubuh lain terbujur di lantai diam tak terusik. Malam dan siang tak ada ubahnya, sinar matahari tak pernah mau singgah, pengap dan lembab. Butiran-butiran pasir pada jam kehidupan lamban berjatuhan, tercekat pada mulut pipa kaca. Tiada yang pernah perduli pada hari dan waktu, sebab kemarin, hari ini dan esok tiada bedanya. Semua cerita usang.
Bayangan itu masih jelas terlihat di dinding kusam, seakan telah terpatri untuk seumur zaman, tiada berpindah, tiada berubah. Seperti lukisan kelam pada ruang-ruang waktu, hantu-hantu masa lalu yang melekat di semua benak. Bagi mereka yang kalah, pada bayangan tak ada tangisan Bagi mereka kaum pemenang, pada bayangan tak ada senyum kepongahan. Semua sama, sebuah sisi gelap dari kehidupan adalah bayangan.
Baginya bayangan adalah hantu masa lalu yang selalu mengikuti. Tapi bayangan itu telah menjadi teman untuk seumur hidupnya, sejak ia berlari ketakutan ke dekapan ibunya, mendapati manusia hitam yang menyeret-nyeret langkahnya dalam keheningan. Kelak akhirnya ia sadar, bayangan adalah kejujuran. Ia tak pernah menikam, ia teman yang jujur di saat sepi. Andai bayangan dapat berbicara, ia akan bercerita banyak tentang bentuk yang diserupainya. Mungkinkah bayangan adalah malaikat sang pencatat buku putih kehidupan?
Bayangan itu masih terlihat jelas di dinding kusam, tangannya bergerak-gerak. Menuliskan sesuatu. Terkadang terhenti, mengusap-usap matanya. Lampu itu jelas terlihat redup seperti mata tuanya. Pandangannya kembali tertuju pada lembaran-lembaran kertas putih. Belum sebaris katapun ia toreh. Otaknya buntu mencari awal kata yang bagus. Ia tak ingin pada kalimat awal akan mencerminkan kedangkalan isi, atau akan membosankan untuk membaca kelanjutannya. Nafasnya mencari kata-kata, dan ia mulai menulis :
Buat sahabatku,
Sungguh malam ini (bila saat ini memang malam) aku susah untuk memulai. Dari mana awal kata aku akan menuliskannya. Karena hingga kinipun kita masih memperdebatkan tentang awal. Apakah dimulai dari telur atau ayam? Apakah dimulai dari monyet Darwin atau Adam? Tapi kali ini aku tak ingin memperdebatkan soal penciptaan itu, aku hanya ingin mengatakan tentang Sang Pencipta. Aku telah temukan bahwa Tuhan telah mati. Ya, sudah mati.
Sahabatku, jangan engkau cepat tertawa, mengatakanku si atheis yang tak pernah berubah. Karena aku telah lama menderita oleh simbol-simbol atheis itu. Aku muak dengan sikap arogan para pengawal-pengawal tuhanmu. Bukankah kebenaran yang mereka katakan itu melebihi dari dari kuasa tuhannya? Penghakimanan yang mereka lakukan mendahului neraka yang kalian hayalkan. Aku takut di neraka nanti (bila neraka itu ada), justru mereka akan menjadi kayu bakarnya. Aku tahu surga dan neraka itu adalah ciptaan manusia, seperti penjara untuk kaum “pendosa” dan istana untuk kaum “yang benar”. Klaim kebenaran yang tunggal tak ubahnya dengan kekuasaan yang tunggal. Sama-sama menyesatkan. Adalah hak setiap orang bertanya tentang penciptaan dirinya, hak setiap orang memandang tentang tuhan.
Sahabatku seandainya saat ini mulutku dipaksa berkata saya adalah manusia yang bertuhan, aku akan mengatakan tuhan itu adalah saya. Tapi aku akan muntah berkata seperti itu, karena aku tak mau seperti tuhan. Bukankah tuhan simbol dari keabsloutan, sesuatu yang tak bisa dipertanyakan, esa adanya (itu teori-teorimu). Dan aku adalah mahluk yang masih terus berpikir dan bertanya-tanya. Aku bukan manusia absolut, kebenaranku masih bisa di perdebatkan, aku tak ingin menyesatkan oleh klaim-klaim kebenaran tunggal. Tapi aku pun bukan nabi, walau nabi selalu tak bisa diterima pada jamannya. Karena kebenaran bukanlah milik tunggal sang nabi, kebenaran adalah pencarian dari pencerahan kehidupan. Mata sang nabi saat itu mungkin lebih beruntung dapat membaca kebenaran itu, tapi sekali lagi aku katakan, kebenaran itu bukan miliknya. Dan itu bukan harga mati lagi.
Aku tak akan memberi nubuatan-nubuatan atau perkara-perkara keajaiban. Tak akan ada ramalan akan masa depan, atau akhir dari dunia ini yang akan aku katakan. Aku hanya berpikir dan berbicara. Melihat dan mendengar. Merasakan dan menyimpulkan. Semua itu penuh gejolak, seperti saat menerima kotbah-kotbahmu pada puluhan-puluhan kertas surat yang aku terima sepanjang hidupku. Aku berperang dengan diriku sendiri, hingga akhirnya logika-logika ku pun kalah. Dan pada suratmu yang terakhir kau berkata, bahwa tuhan menciptakan manusia bukan untuk menderita, tapi untuk bahagia.
Sahabatku, aku mencari kebahagiaan yang kau tawarkan. Aku ingin merasakan cuilannya. Tapi aku tak pernah mendapatkannya, aku tak menemukan kebahagian itu, aku tak menemukan tuhanmu. Apakah ia telah tuli dan buta? Aku telah terus mengetuk pintunya, dan tanganku telah bernanah. Aku telah meminta, mulutku berbusa tak ubahnya bagai orang kesurupan (mungkinkah aku kerasukan setan tuhanmu).
Jangan kau katakan aku terlalu lemah dan tak penyabar, bukan hanya aku yang merasakan itu. Jutaan anak negeri ini pun seperti itu. Negeri ini tak bertuan, negeri ini tak bertuhan lagi. Aku tak sendiri. Jutaan orang sudah muak dengan dogma usang yang mengatakan setiap penderitaan adalah kehendak tuhan, cobaan darinya. Tidakkah dia tahu bahwa manusia juga punya batas kelemahan dan kesabaran. Aku rasa dogma itu membunuh pikiran kita. Membunuh kesadaran kita untuk berusaha dengan akal sehat sendiri. Aku bukan mengajak berpikir soal materialis. Aku juga tak mau diajak berpikir tentang hal-hal suci yang semu, terlalu mistik bagiku.
Aku juga bukan hendak membujukmu untuk berpaling pada komunisme yang tak bertuhan. Justru komunisme itu bertuhan, malah bertuhan dari orang-orang yang bertuhan. Komunis memberhalakan tuhan, tuhan yang paling tolol dibanding tuhan-tuhan lainnya. Mereka memperjuangkan sistim aturan kehidupan, yang diperjuangkan itu adalah tuhan mereka. Komunis adalah tuhan yang dibangun dengan cara paling sadar. Kesadaran bahwa mereka adalah lemah, penuh ketakutan sehingga memerlukan sang penolong, sesuatu yang lebih agung dari mereka. Tuhan adalah kesadaran akan kelemahan. Tuhan adalah sistim aturan yang abadi bagi mereka. Sama seperti tuhan milik agama-agama yang menakuti manusia dengan neraka dan surga, tuhannya komunisme pun menciptakan surga dan neraka. Neraka dan surga itu diciptakan untuk menimbulkan kekhawatiran, sehingga ketakutan pada hukuman dan ketidakpastian itulah yang menyebabkan berlindung di bawah ajaran-ajaran yang dianggap sebagai kebenaran dan kepastian. Aku bisa menyimpulkan, komunis bukanlah pilihan hidup seperti juga halnya dengan agama-agama, selama kalian berpikir dengan cara pandang hasil yaitu surga. Sebuah perjuangan kebenaran yang suci tidak mengenal perhitungan, tidak memikirkan imbalan, semua seharusnya penuh pengorbanan dan kasih.(www.kompasiana.com)