Libas BaTAs
MEDIA MEMUNTAHKAN NAFSU UNTUK BERKARYA
Minggu, 16 Januari 2011
Komunisme dan Pan-Islamisme
Tan Malaka (1922)
Penerjemah: Ted Sprague, Agustus 2009
Ini adalah sebuah pidato yang disampaikan oleh tokoh Marxis Indonesia Tan Malaka
pada Kongres Komunis Internasional ke-empat pada tanggal 12 Nopember 1922.
Menentang thesis yang didraf oleh Lenin dan diadopsi pada Kongres Kedua, yang telah
menekankan perlunya sebuah “perjuangan melawan Pan-Islamisme”, Tan Malaka
mengusulkan sebuah pendekatan yang lebih positif. Tan Malaka (1897-1949) dipilih
sebagai ketua Partai Komunis Indonesia pada tahun 1921, tetapi pada tahun berikutnya
dia dipaksa untuk meninggalkan Hindia Belanda oleh pihak otoritas koloni. Setelah
proklamasi kemerdekaan pada bulan Agustus 1945, dia kembali ke Indonesia untuk
berpartisipasi dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Dia menjadi ketua
Partai Murba (Partai Proletar)), yang dibentuk pada tahun 1948 untuk mengorganisir
kelas pekerja oposisi terhadap pemerintahan Soekarno. Pada bulan Februari 1949 Tan
Malaka ditangkap oleh tentara Indonesia dan dieksekusi.
Kamerad! Setelah mendengar pidato-pidato Jenderal Zinoviev, Jenderal Radek dan
kamerad-kamerad Eropa lainnya, serta berkenaan dengan pentingnya, untuk kita di Timur
juga, masalah front persatuan, saya pikir saya harus angkat bicara, atas nama Partai
Komunis Jawa, untuk jutaan rakyat tertindas di Timur.
Saya harus mengajukan beberapa pertanyaan kepada kedua jenderal tersebut. Mungkin
Jenderal Zinoviev tidak memikirkan mengenai sebuah front persatuan di Jawa; mungkin
front persatuan kita adalah sesuatu yang berbeda. Tetapi keputusan dari Kongres
Komunis Internasional Kedua secara praktis berarti bahwa kita harus membentuk sebuah
front persatuan dengan kubu nasionalisme revolusioner. Karena, seperti yang harus kita
akui, pembentukan sebuah front bersatu juga perlu di negara kita, front persatuan kita
tidak bisa dibentuk dengan kaum Sosial Demokrat tetapi harus dengan kaum nasionalis
revolusioner. Namun taktik yang digunakan oleh kaum nasionalis seringkali berbeda
dengan taktik kita; sebagai contoh, taktik pemboikotan dan perjuangan pembebasan kaum
Muslim, Pan-Islamisme. Dua hal inilah yang secara khusus saya pertimbangkan,
sehingga saya bertanya begini. Pertama, apakah kita akan mendukung gerakan boikot
atau tidak? Kedua, apakah kita akan mendukung Pan-Islamisme, ya atau tidak? Bila ya,
seberapa jauh kita akan terlibat?
Metode boikot, harus saya akui, bukanlah sebuah metode Komunis, tapi hal itu adalah
salah satu senjata paling tajam yang tersedia pada situasi penaklukan politik-militer di
Timur. Dalam dua tahun terakhir kita telah menyaksikan keberhasilan aksi boikot rakyat
Mesir 1919 melawan imperialisme Inggris, dan lagi boikot besar oleh Cina di akhir tahun
1919 dan awal tahun 1920. Gerakan boikot terbaru terjadi di India Inggris. Kita bisa
melihat bahwa dalam beberapa tahun kedepan bentuk-bentuk pemboikotan lain akan
digunakan di timur. Kita tahu bahwa ini bukan metode kita; ini adalah sebuah metode
borjuis kecil, satu metode kepunyaan kaum borjuis nasionalis. Lebih jauh kita bisa
mengatakan; bahwa pemboikotan berarti dukungan terhadap kapitalisme domestik; tetapi
kita juga telah menyaksikan bahwa setelah gerakan boikot di India, kini ada 1800
pemimpin yang dipenjara, bahwa pemboikotan telah membangkitkan sebuah atmosfer
yang sangat revolusioner, dan gerakan boikot ini telah memaksa pemerintahan Inggris
untuk meminta bantuan militer kepada Jepang, untuk menjaga-jaga kalau gerakan ini
akan berkembang menjadi sebuah pemeberontakan bersenjata. Kita juga tahu bahwa para
pemimpin Mahommedan di India – Dr. Kirchief, Hasret Mahoni dan Ali bersaudara –
pada kenyataannya adalah kaum nasionalis; kita tidak melihat sebuah pemberontakan
ketika Gandhi dipenjara. Tapi rakyat di India sangat paham seperti halnya setiap kaum
revolusioner disana: bahwa sebuah pemberontakan lokal hanya akan berahir dalam
kekalahan, karena kita tidak punya senjata atau militer lainnya di sana, oleh karena itu
masalah gerakan boikot akan, sekarang atau di hari depan, menjadi sebuah masalah yang
mendesak bagi kita kaum Komunis. Baik di India maupun Jawa kita sadar bahwa banyak
kaum Komunis yang cenderung ingin memproklamirkan sebuah gerakan boikot di Jawa,
mungkin karena ide-ide Komunis yang berasal dari Rusia telah lama dilupakan, atau
mungkin ada semacam pelepasan mood Komunis yang besar di India yang bisa
menentang semua gerakan. Bagaimanapun juga kita dihadapkan pada pertanyaan: apakah
kita akan mendukung taktik ini, ya atau tidak? Dan seberapa jauh kita akan mendukung?
Pan-Islamisme adalah sebuah sejarah yang panjang. Pertama saya akan berbicara tentang
pengalaman kita di Hindia Belanda dimana kita telah bekerja sama dengan kaum Islamis.
Di Jawa kita memiliki sebuah organisasi yang sangat besar dengan banyak petani yang
sangat miskin, yaitu Sarekat Islam. Antara tahun 1912 dan 1916 organisasi ini memiliki
sejuta anggota, mungkin sebanyak tiga atau empat juta. Itu adalah sebuah gerakan
popular yang sangat besar, yang timbul secara spontan dan sangat revolusioner.
Hingga tahun 1921 kita berkolaborasi dengan mereka. Partai kita, terdiri dari 13,000
anggota, masuk ke pergerakan popular ini dan melakukan propaganda di dalamnya. Pada
tahun 1921 kita berhasil membuat Sarekat Islam mengadopsi program kita. Sarekat Islam
juga melakukan agitasii pedesaan mengenai kontrol pabrik-pabrik dan slogan: Semua
kekuasaan untuk kaum tani miskin, Semua kekuasaan untuk kaum proletar! Dengan
demikian Sarekat Islam melakukan propaganda yang sama seperti Partai Komunis kita,
hanya saja terkadang menggunakan nama yang berbeda.
Namun pada tahun 1921 sebuah perpecahan timbul karena kritik yang ceroboh terhadap
kepemimpinan Sarekat Islam. Pemerintah melalui agen-agennya di Sarekat Islam
mengeksploitasi perpecahan ini, dan juga mengeksploitasi keputusan Kongres Komunis
Internasional Kedua: Perjuangan melawan Pan-Islamisme! Apa kata mereka kepada para
petani jelata? Mereka bilang: Lihatlah, Komunis tidak hanya menginginkan perpecahan,
mereka ingin menghancurkan agamamu! Itu terlalu berlebihan bagi seorang petani
muslim. Sang petani berpikir: aku telah kehilangan segalanya di dunia ini, haruskah aku
kehilangan surgaku juga? Tidak akan! Ini adalah cara seorang Muslim jelata berpikir.
Para propagandis dari agen-agen pemerintah telah berhasil mengeksploitasi ini dengan
sangat baik. Jadi kita pecah. [Ketua: Waktu anda telah habis]
Saya datang dari Hindia Belanda, dan menempuh perjalanan selama empat puluh hari
.[Tepuk Tangan]
Para anggota Sarekat Islam percaya pada propaganda kita dan tetap bersama kita di perut
mereka, untuk menggunakan sebuah ekspresi yang popular, tetapi di hati mereka mereka
masih bersama Sarekat Islam, dengan surga mereka. Karena surga adalah sesuatu yang
tidak bisa kita berikan kepada mereka. Karena itulah, mereka memboikot pertemuanperetemuan
kita dan kita tidak bisa melanjutkan propaganda kita lagi.
Sejak awal tahun lalu kita telah bekerja untuk membangun kembali hubungan kita dengan
Sarekat Islam. Pada kongres kami bulan Desember tahun lalu kita mengatakan bahwa
Muslim di Kaukasus dan negara-negara lain, yang bekerjasama dengan Uni Soviet dan
berjuang melawan kapitalisme internasional, memahami agama mereka dengan lebih
baik, kami juga mengatakan bahwa, jika mereka ingin membuat sebuah propaganda
mengenai agama mereka, mereka bisa melakukan ini, meskipun mereka tidak boleh
melakukannya di dalam pertemuan-pertemuan tetapi di masjid-masjid.
Kami telah ditanya di pertemuan-pertemuan publik: Apakah Anda Muslim - ya atau
tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan – ya atau tidak? Bagaimana kita menjawabnya?
Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi
ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim [Tepuk Tangan
Meriah], karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!
[Tepuk Tangan Meriah] Jadi kami telah mengantarkan sebuah kekalahan pada para
pemimpin mereka dengan Qur’an di tangan kita, dan di kongres kami tahun lalu kami
telah memaksa para pemimpin mereka, melalui anggota mereka sendiri, untuk
bekerjasama dengan kami.
Ketika sebuah pemogokan umum terjadi pada bulan Maret tahun lalu, para pekerja
Muslim membutuhkan kami, karena kami memiliki pekerja kereta api di bawah
kepemimpinan kami. Para pemimpin Sarekat Islam berkata: Anda ingin bekerjasama
dengan kami, jadi Anda harus menolong kami juga. Tentu saja kami mendatangi mereka,
dan berkata: Ya, Tuhan Anda maha kuasa, tapi Dia telah mengatakan bahwa di dunia ini
pekerja kereta api adalah lebih berkuasa! [Tepuk Tangan Meriah] Pekerja kereta api
adalah komite eksekutif Tuhan di dunia ini. [Tertawa]
Tapi ini tidak menyelesaikan masalah kita, jika kita pecah lagi dengan mereka kita bisa
yakin bahwa para agen pemerintah akan berada di sana lagi dengan argumen Pan-
Islamisme mereka. Jadi masalah Pan-Islamisme adalah sebuah masalah yang sangat
mendadak.
Tapi sekarang pertama-tama kita harus paham benar apa arti sesungguhnya dari kata Pan-
Islamisme. Dulu, ini mempunyai sebuah makna historis dan berarti bahwa Islam harus
menaklukkan seluruh dunia, pedang di tangan, dan ini harus dilakukan di bawah
kepemimpinan seorang Khalifah [Pemimpin dari Negara Islam – Ed.], dan Sang Khalifah
haruslah keturunan Arab. 400 tahun setelah meninggalnya Muhammad, kaum muslim
terpisah menjadi tiga Negara besar dan oleh karena itu Perang Suci ini telah kehilangan
arti pentingnya bagi semua dunia Islam. Hilang artinya bahwa, atas nama Tuhan,
Khalifah dan agama Islam harus menaklukkan dunia, karena Khalifah Spanyol
mengatakan, aku adalah benar-benar Khalifah sesungguhnya, aku harus membawa panji
[Islam], dan Khalifah Mesir mengatakan hal yang sama, serta Khalifah Baghdad berkata,
Aku adalah Khalifah yang sebenarnya, karena aku berasal dari suku Arab Quraish.
Jadi Pan-Islamisme tidak lagi memiliki arti sebenarnya, tapi kini dalam prakteknya
memiliki sebuah arti yang benar-benar berbeda. Saat ini, Pan-Islamisme berarti
perjuangan untuk pembebasan nasional, karena bagi kaum Muslim Islam adalah
segalanya: tidak hanya agama, tetapi juga Negara, ekonomi, makanan, dan segalanya.
Dengan demikian Pan-Islamisme saat ini berarti persaudaraan antar sesama Muslim, dan
perjuangan kemerdakaan bukan hanya untuk Arab tetapi juga India, Jawa dan semua
Muslim yang tertindas. Persaudaraan ini berarti perjuangan kemerdekaan praktis bukan
hanya melawan kapitalisme Belanda, tapi juga kapitalisme Inggris, Perancis dan Itali,
oleh karena itu melawan kapitalisme secara keseluruhan. Itulah arti Pan-Islamisme saat
ini di Indonesia di antara rakyat kolonial yang tertindas, menurut propaganda rahasia
mereka – perjuangan melawan semua kekuasaan imperialis di dunia.
Ini adalah sebuah tugas yang baru untuk kita. Seperti halnya kita ingin mendukung
perjuangan nasional, kita juga ingin mendukung perjuangan kemerdekaan 250 juta
Muslim yang sangat pemberani, yang hidup di bawah kekuasaaan imperialis. Karena itu
saya tanya sekali lagi: haruskah kita mendukung Pan-Islamisme, dalam pengertian ini?
Saya akhiri pidato saya. [Tepuk Tangan Meriah]
Sumber:www.marxists.org)
Senin, 16 Agustus 2010
Style punk, objek bisnis para pemilik modal…
Selasa, 22 Juni 2010
Djakarta
Jumat, 11 Juni 2010
NIETZSCHE DAN KEMATIAN TUHAN DALAM SEBUAH REFLEKSI
Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/
Ini bukan omong kosong, melainkan sesuatu yang benar-benar terjadi. Ini adalah realitas kehidupan dari dulu hingga sekarang. Fenomena ini kerap dipandang sebelah mata oleh kalangan-kalangan tetentu, padahal jika mereka bersedia menelisik kedalaman makna, mereka akan menemukan sesuatu yang besar yang sanggup dijadikan perenungan, permenungan serta refleksi terhadap realitas yang ada. Mereka tidak akan menganggap bahwa kata-kata ini bukan sebuah kata bualan yang terpancar dari mulut seorang radikal ateistik. Andaikan kata-kata ini benar merupakan ujaran dari seorang radikal ateistik, paling tidak mereka dapat mengambil sisi baiknya, sebab segala sesuatu yang ada pasti mengandung nilai yang dapat diambil dan dijadikan sebuah pembelajaran bagi diri pribadi.
Coba, cermati serta telisik kembali ungkapan ini serta kantongi nilai-nilainya. Ini merupakan harapan serta tantangan bagi anda semua untuk bisa menghargai kata-kata atau pengujarnya agar tidak selalu berpandangan picik atau culas terhadap realitas hidup dan kehidupan yang sedang menyapa.
“Tuhan telah mati!”! Ungkapan Nietzsche dalam Sabda Zaratustranya inilah yang dari zaman dahulu sampai sekarang seolah-olah menjelma sebagai virus dalam diri manusia. Virus ini terus menggerogoti logika dan perasaan manusia. Ungkapan ini selalu dianggap sebagai virus yang mematikan yang harus segera dibumihanguskan. Padahal jika diperhatikan lebih jauh, ungkapan ini merupakan cambuk pengingat bagi mereka yang telah lalai. Cambuk bagi mereka yang selalu mengutamakan esensi dan eksistensi pribadi hingga mereka menjual, mematahakan dan bahkan membunuh eksistensi Tuhan dalam dirinya.
Ungkapan “Tuhan telah mati”mengandung nilai filosofis yang begitu dahsyat. Kematian ini bukan mengarah pada kematian esensi (dzat), melainkan mengarah pada kematian eksistensi (wewenang dan perintah) Tuhan dalam diri seorang manusia..
Secara kodrati, dzat Tuhan bersifat kekal dan abadi. Keberadaanya selalu ada melampaui ruang dan waktu serta menjadi poros kehidupan. Begitu juga dengan eksistensi Tuhan. Secara kodrati eksistensi Tuhan juga bersifat kekal dan abadi, namun dalam realitasnya eksistensi inilah yang kerapa dikebiri oleh pribadi seseorang. Ia kerapa dibantai dan ditiadakan.
Bentuk pembantaian serta peniadaan eksistensi Tuhan mungkin terlihat jelas pada waktu itu, sehingga dengan seketika pula Nietzsche mengujarkan kata-kata tersebut. Pada waktu itu manusia banyak yang beralih pandangan. Mereka selalu mengejar kenikmatan duniawi yang bersifat sementara dibandingkan dengan mengabdi kepada Tuhan. Mereka menghalalkan segala cara demi kepuasan tersebut. Mereka kerap berbuat curang, culas terhadap sesama, dan bahkan mereka kerap membuat kerusakan-kerusakan di muka bumi hanya demi kepuasan nafsiahnya semata. Di sinilah letak pembantaian dan peniadaan eksistensi Tuhan dalam diri seorang manusia. Wewenang dan perintah-Nya untuk bertaqwa dan tidak membuat kerusakan di muka bumi telah di kebiri dan di tiadakan dari dalam diri pribadinya. Tuhan seolah tidak ada hingga mereka berbuat sewenang-wenang dan semaunya.
Tidakkah telah terungkap jelas, bahwa nafsulah yang telah mengantarkan manusia berada dalam lembah kesesatan. Dialah pengantar manusia untuk berbuat ingkar kepada Tuhan. Olehnya, manusia kini telah beralih melakukan pengagungan dan pemujaan terhadap hakekat Tuhan yang sejati. Manusia telah beralih menuhankan benda-benda, harta, tahta dan lain sebagainya yang merupakan perhiasan dunia yang bersifat semu dan menipu. Orientasi hidupnya kini telah berbelok menuju kebendaan duniawi.
Berkaitan dengan hal tersebut, fenomena semacam itu juga telah dilukiskan beberapa puluh tahun yang lalu sebelum adanya konsep Nietzcsche. Tindakan semacam ini dilakukan oleh Karl Marx. Pada saat itu ia mengkritisi realitas sosial yang terjadi dengan mengatakan bahwa “Agama Itu Candu”. Realitas sosial sudah kacau balau. Agama sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Agama hanya berposisi sebagai alat pemuas kebutuhan nafsiah manusia. Agama hanya dijadikan tunggangan dalam mempertinggi stratifikasi sosial, dan juga untuk mengeruk harta kekayaan demi kepentingan personal seseorang.
Terdapat satu fenomena lain dari konsep ujaran Nietzsche. Konsep ini mungkin juga diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar mengabdikan diri terhadap hakekat Tuhan yang sejati. Bagi mereka yang benar-benar mengorientasikan diri hanya kepada hakekat Tuhan yang sejati, maka esensi dan eksistensi tuhan-tuhan yang lain akan ditiadakan. Tuhan yang bersifat kebendaan akan ia bantai habis-habisan, hingga pesonanya tidak ada lagi melekat di dalam diri seorang individu. Contoh saja agama Islam. Dalam agama Islam sudah terlihat jelas lewat kesaksian yang dibuat oleh para pemeluknya. Secara konseptual kesaksian ini berlaku bagi siapa saja yang hendak masuk dalam agam tersebut. Semua orang pasti mengikrarkan ungkapan ini, yaitu ikrar yang bersifat peniadaan terhadap Tuhan yang bersifat kebendaan. Mereka hanya meyakini hanya ada satu Tuhan yaitu Allah. Dialah yang dijadikan sandaran dan tujuan hidup bagi mereka. Dia diyakini sebagai sesuatu yang bersifat kekal, abadi, kuasa, dsan sempurna.
Dalam realitasnya, konsep ini telah ditanamkan bagi siapa saja yang memeluk agama Islam, namun dalam praktik yang sebenarnya masih perlu dipertanyakan. Pertanyaan yang timbul adalah: sudahkah para pemeluk agama Islam menerapakna dengan sepenuh hati konsep tersebut dalam hidup dan kehidupanya? Sudahkah mereka melakukan pembunuhan dan pembantaian terhadap segala sesuatu yang besifat kebendaan dan hanya berorientasi pada Allah semata? Ini menjadi tantangan besar bagi umat Islam untuk melakukan penerapan secara real bukan hanya sekedar dijadikan lipstik atau kaligrafi yang disakralkan.
Coba tengok lebih jauh lagi tentang pembunuhan dan pembantaian Tuhan. Fenomena yang terjadi di dalam dunia sufistik, bahwa ungkapan Tuhan sudah tidak ada lagi. Ungkapan ini mereka ganti dengan istilah kekasih. Tuhan yang notabenenya masih bersifat plural, mereka spesifikkan dengan kata Kekasih. Mereka menggapai dan menuju Tuhan bukan sebagai Tuhan lagi, melainkan sebagai Kekasih yang harus didekati dengan cinta bukan dengan ketakutan-ketakutan. Mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang diberikan Tuhan kepada manusia tidak lain adalah bentuk kasih sayang-Nya, sehingga cara pendekatan diri pun harus dilakukan dengan cinta dan kasih sayang pula.
Perhatikan ungkapan yang diujarkan oleh seorang “Pir” pada Abu Sa’id saat ia berilustrasi hendak bertemu dengan Tuhan. Saat Abu Said ditanya: “Apakah kau ingin bertemu Tuhan?”. Jawab Abu Sa’id: “Tentu saja aku ingin”. Kemuduan “Pir” itu menjawab: ”Jika demikian, kapan pun saat kau sendirian, lantunkan syair ini:
“Tanpa Dikau, oh, Kekasih, setitik pun aku tidak bisa tenang;
Kebaikan-Mu terhadapku tak sanggup kubalas.
Sekali pun setiap helai rambut di tubuhku menjadi lidah,
Ribuan syukur terhadap-Mu tak akan bisa kudaras.”
Dalam syair tersebut dikatakan bahwa Tuhan diibaratkan atau disimbulkan sebagai Kekasih. Ia telah melimpahkan begitu banyak kasih sayang terhadap manusia, sehingga beribu syukur dan terima kasih yang diucapkan seorang manusia terhadap-Nya masih tidak sanggup untuk membalas cinta kasih-Nya, bahkan seumpama helaian rambut yang ada pada tubuh manusia menjelma menjadi lidah dan saling mengucap syukur kepada-Nya, itu pun masih tidak sanggup membalas banyaknya cinta kasih yang telah dianugrahkan kepadanya. Oleh sebab itu, dalam ajaran Islam, setiap kali seseorang hendak melakukan sesuatu hal, ia disunnahkan untuk membaca basmalah. Ini menunjukkan akan bentuk kesaksian terhadap cinta kasih Tuhan yang esa.
Semua orang mengetahui, bahwa seorang sufi selalu mengorientasikan hidup dan kehidupanya hanya kepada Tuhan. Yang ia tuju hanyalah esensi dan eksistensi Tuhan semata. Hal tersebut kerap tercermin melalui ungkapan-ungkapanya, termasuk ungkapan syair di atas yang mengibaratkan Tuhan sebagi Sang Kekasih. Perlu dijadikan catatan, bahwa pengungkapan tersebut merupakan simbol semata. Masih banyak simbol-simbol lain yang merupakan bentuk pembantaian dan pembunuhan terhadap penuhanan benda-benda keduniawian, yaitu harta, tahta, dan lain sebagainya.
Kamis, 03 Juni 2010
Tuhan Telah Mati (TTM)– Bagian 2
Kembali ke perkataanku tadi bahwa negeri ini tak bertuan, tak bertuhan lagi. Aku telah menyaksikan kaum penyabar ini telah menjadi berang. Doa-doa tak mempan lagi, puja-puji pada tuhan tak didengar lagi. Kebenaran yang diyakini menjadi pedang bermata dua, melukai sekaligus terlukai. Semua mencoba untuk bertahan di jalan kebenaran, semua mencoba untuk menghadapi cobaan, karena katanya sang penyabar akan mendapat rahmat yang berlimpah. Tapi ketika kita menarik nafas, kitapun harus bergantian menghembuskannya. Ketika dada kita mulai sesak, kita pun harus mengosongkannya. Kita tak bisa menerima sekaligus, cobaan yang bertubi-tubi dan rahmat yang tak kunjung datang.
Sahabatku, kemanakah tuhanmu? Apakah ia telah bosan mendengar doa-doa kita? Atau tuhan telah lama mati? Manusia berserakkan kelaparan, negeri ini kaya tapi kita bodoh. Tak seperti Israel yang miskin tapi pintar, mereka tak bertanah tapi diakui keberadaannya. Negeri ini subur tapi banyak yang mati diatasnya (tapi aku tak mau bila kita disamakan dengan semut yang mati di dalam karung gula). Kita bukan mati kekenyangan, kita mati kelaparan. Tak ada lagi peruntungan di negeri ini.
Jutaan manusia resah dengan harga yang makin melambung, semua tak terbeli. Barang-barang itu dihasilkan oleh keringat kita, tapi kita tak mampu mengecapnya, memimpikannyapun akan memenjarakan kita. Melihatnya akan menimbulkan iri, sirik. Bukankah itu dilarang oleh tuhanmu? Tapi kita tak buta oleh itu, kita perlu makan. Kita perlu hidup. Dan agama tak mampu mengenyangkan itu. Surga hanya untuk orang mati, apakah neraka untuk orang hidup?
Dan banyaklah orang yang memilih jalan itu. Perampasan milik orang lain menjatuhkan korban. Pembunuhan tak lagi menakutkan. Semua menikam untuk dapat bertahan hidup detik itu. Semua bersenjata untuk dapat membela diri. Lapar membunuh kesabaran. Keputusasaan mengiris keyakinan bahwa tuhan masih mau mendengar doa-doa mereka.
Lihatlah moral tak lagi ada, nilai-nilai itu semua telah sirna. Kakek memperkosa cucunya, paman meniduri keponakannya, bapak menindih anaknya. Para suami berselingkuh, istripun tak mau kalah (mungkin bentuk emanispasi gaya baru). Para gadis tak mau lama-lama menyandang gelar perawan, para pemuda matanya buas. Aborsi jadi barang mainan. Para sundal bukan lagi barang langka, ia jadi dagangan laris bak menjual kacang tanah yang dimasak pada pasir panas. Lembaran-lembaran media penuh gambar telanjang, media elektronik mempertontonkan erotisnya senggama. Dengusnya merasuki hari-hari, udara sangat najis penuh dengus nafas, kini tak lagi tertahan sudah lepas.
Penipuan tak lagi menyajikan simbol-simbol seram, seperti cerita dongeng-dongeng pengantar tidur dulu. Mereka tak lagi bertaring, air liurnya tak kelihatan menetes. Mulut mereka manis walau tak ada desis seperti ular atau setan. Tak bau. Mereka lebih mulia terlihat dari para malaikat. Terdidik dan sopan. Tapi otaknya sungguh lihai mencari kaum yang lemah. Mulutnya sungguh pintar mengumbar janji mengalahkan pemuka agama yang menjanjikan surga. Surga dunia lebih realistik dari pada surga milik tuhan untuk saat ini. Hari-hari saling menipu, saling mengintip, saling mencari kelemahan.
Kesabaran juga tak bisa ditahan oleh sistem. Demokrasi menjadi setan bertopeng badut. Buruh tak mau lagi berlama-lama bertahan dalam perjuangannya. Mogok kerja seperti pekerjaan sia-sia. Mogok makan pada saat perut telah lama lapar sama saja dengan kebodohan. Dialog sama saja memberi mimbar agar mereka dibohongi selalu, janji-janji sudah jadi mitos pembelaan tanpa hasil. Sakit hati mengalahkan niatan yang suci. Mereka ramai-ramai membakar pabrik, membakar lumbung padi mereka, membakar meja makan mereka, menjungkir balikkan tempat menanak nasi. Dan menari di atas perapian dapur, mengencingi tungku api. Sungguh mereka mematikan jalan hidup mereka sendiri, dendam dan emosi yang lebih berkuasa.
Sahabat kemana tuhanmu?
Tapi aku tak juga pungkiri di daerah sana ada yang masih menaikkan panji-panji kebesaran tuhan-tuhan mereka. Mereka saling berperang demi nama besar tuhan masing-masing. Apakah tuhan mereka mahluk lemah sehingga harus dibela? Mungkin sama seperti para preman yang saling membunuh untuk merebut daerah kekuasaannya, lahan parkir. Mungkin mereka pikir, tuhan juga perlu wilayah kekuasaan baru. Perlu manusia-manusia jajahan baru untuk dijadikan bala tentara tuhannya. Sungguh sebenarnya mereka melemahkan harga diri tuhan mereka. Atau ada hal lain selain itu? Atau tuhan sedang menikmati segala tontonan pertempuran itu sehingga melupakan daerah lainnya?
Aku tadi telah mengatakan negeri ini tak bertuan, negeri ini tak bertuhan lagi. Sungguh itulah yang terjadi, negeri ini tak bertuan. Bukankah tuan negeri ini adalah rakyat. Itu telah lama dikebiri, rakyat menjadi obyek bukan subyek. Kekuasaan telah menjadi milik penguasa, kekuasaan adalah tuhan mereka. Kuasa tuhan telah diganti dengan kuasa uang. Sesuatu yang maha suci diganti dengan yang maha hina. Rakyat dipecah berserakkan dan meratap pada perut mereka. Kedaulatan tak mampu lagi diambil rakyat, karena rakyat tak lagi bisa bersatu, semua memikirkan perut-perut mereka. Sungguh negeri ini tak lagi bertuan, tak ada lagi kedaulatan rakyat. Yang ada hanyalah, negeri ini dikuasai oleh mereka yang menetapkan dirinya sendiri menjadi wakil rakyat. Mereka menjadi tengkulak negeri ini, mereka para pedagang-pedagang keringat rakyat, mereka menggadaikan negeri ini.
Sungguh cermin negeri ini bertuhan tak ada lagi. Lihatlah para pemimpin-pemimpin itu. Mereka bertuhan, mereka panutan, mereka tokoh-tokoh agama. Apakah prilaku cermin manusia yang suci ada pada mereka? Melihat suatu negeri bertuhan atau tidak dapat di lihat pada tindak laku pemimpinnya. Mereka mengangkat panji-panji agama, merekapun menyuarakan suara-suara kebohongan. Mereka mengobral janji-janji pada pemilu seperti mengobral surga. Agama telah dijadikan komoditi politik, agama dipakai untuk menenangkan kaum tertindas (memakai tameng takdir). Tuhan telah dipakai sebagai bodyguard, cecunguk yang akan dibuang bila tak lagi jawara.
Sahabatku, mungkin dari mulutmu sudah terlontar berjuta kata maki padaku. Aku tahu perasaanmu, ketika aku mengatakan tuhan telah mati. Aku tahu perasaan mereka yang telah terbius agama tanpa pernah berpikir merdeka dan mempertanyakan kebenaran yang diyakininya. Jangan pernah jadi pengikut agama, karena kau akan seperti kerbau yang dicucuk hidungnya dan ditarik kesana ke mari tanpa berontak, pasrah. Menjadi pengikut agama akan membutakan akal sehatmu, memenjarakan kemerdekaan pikiranmu untuk mempertanyakan yang kau yakini itu. Kalau aku boleh memberi saran, mungkin ini yang terbaik bagimu dan yang terjelek bagiku, jangan pernah jadi pengikut siapa pun (menjadi pengikutku pun jangan pernah), jadilah bertuhan saja.
Sahabatku akhir kata aku ucapkan banyak terimakasih atas waktu yang telah kau berikan untuk membaca surat ini atau surat-surat yang terdahulu. Jangan pernah ejek aku sebagai atheis (karena aku telah lama menderita oleh simbol-simbol atheis itu), aku tidak atheis. Dari awal telah aku katakan, bahwa tuhan telah mati, bukankah itu berarti aku mengakui keberadaan tuhan? Kalau dadamu saat ini berdegup marah, dadaku saat ini berdegup kencang. Aku sedih. Aku menangis sahabat, akan kematian tuhan. Semoga aku salah duga, kalau tuhan masih hidup kabari aku segera, aku telah rindu jamahanNya, kasihNya yang tulus. Telah lama aku tak memanjatkan pujian suci padaNya, telah lama pula Tuhan tak bersenandung di hatiku, menghibur resahku, mengusir galauku. Tapi aku masih ragu akan itu, jikalau tuhan hidup bukankah ia akan mendengar darah yang menangis, jerit kesakitan, nyawa-nyawa yang melayang entah di mana, tangis kaum lemah yang tertipu, dengus najis birahi, doa-doa pengobral kebohongan.
Di sini aku mendapatkan banyak manusia-manusia yang di hatinya tuhan itu telah lama mati, mungkin juga di tempatmu dan di tempat lainnya. Dan aku masih mencari kuburannya.
Dari sahabatmu,
Pagi itu adalah hari kemerdekaan yang telah lama dilupakan, kebebasannya. Hampir separuh hidup lelaki tua itu dihabiskan di sini, bersama mimpi dan bayangannya. Tak ada kekhawatiran, karena hidup tak lagi mau menjamahnya. Tak lagi ada masa lalu, kini dan masa depan. Semua telah lenyap dalam keterbatasannya.
Pria yang berseragam rapi itu masuk ke dalam biliknya, menyerahkan sebuah surat pembebasan. Di atas meja ia mendapatkan lelaki tua itu kaku tertelungkup bersama sebuah surat yang kemarin malam ditulisnya. Untuk seorang sahabatnya, teman seperjuangan dulu di tahun 1965. Di balik amplop tertulis sebuah pesan :
Bila aku mati lebih dahulu, aku tak akan mencari kuburNya,
biarlah Tuhan yang mencari kuburku.
Dan aku akan mencoba untuk bertemu dengan Tuhan, semoga Ia mau.(www.kompasiana.com)
Tuhan Telah Mati (TTM)–bagian1
Bayangan dirinya terlihat jelas di dinding kusam yang tak dapat lagi ditebak warnanya. Tubuh kurus yang sedikit membungkuk, rambut putih yang sudah menghilangkan kemudaannya, nafasnya terdengar saling tarik menarik. Terkadang batuk, gemanya tak kalah nyaring. Terkadang menggumam sendiri. Tubuh-tubuh lain terbujur di lantai diam tak terusik. Malam dan siang tak ada ubahnya, sinar matahari tak pernah mau singgah, pengap dan lembab. Butiran-butiran pasir pada jam kehidupan lamban berjatuhan, tercekat pada mulut pipa kaca. Tiada yang pernah perduli pada hari dan waktu, sebab kemarin, hari ini dan esok tiada bedanya. Semua cerita usang.
Bayangan itu masih jelas terlihat di dinding kusam, seakan telah terpatri untuk seumur zaman, tiada berpindah, tiada berubah. Seperti lukisan kelam pada ruang-ruang waktu, hantu-hantu masa lalu yang melekat di semua benak. Bagi mereka yang kalah, pada bayangan tak ada tangisan Bagi mereka kaum pemenang, pada bayangan tak ada senyum kepongahan. Semua sama, sebuah sisi gelap dari kehidupan adalah bayangan.
Baginya bayangan adalah hantu masa lalu yang selalu mengikuti. Tapi bayangan itu telah menjadi teman untuk seumur hidupnya, sejak ia berlari ketakutan ke dekapan ibunya, mendapati manusia hitam yang menyeret-nyeret langkahnya dalam keheningan. Kelak akhirnya ia sadar, bayangan adalah kejujuran. Ia tak pernah menikam, ia teman yang jujur di saat sepi. Andai bayangan dapat berbicara, ia akan bercerita banyak tentang bentuk yang diserupainya. Mungkinkah bayangan adalah malaikat sang pencatat buku putih kehidupan?
Bayangan itu masih terlihat jelas di dinding kusam, tangannya bergerak-gerak. Menuliskan sesuatu. Terkadang terhenti, mengusap-usap matanya. Lampu itu jelas terlihat redup seperti mata tuanya. Pandangannya kembali tertuju pada lembaran-lembaran kertas putih. Belum sebaris katapun ia toreh. Otaknya buntu mencari awal kata yang bagus. Ia tak ingin pada kalimat awal akan mencerminkan kedangkalan isi, atau akan membosankan untuk membaca kelanjutannya. Nafasnya mencari kata-kata, dan ia mulai menulis :
Buat sahabatku,
Sungguh malam ini (bila saat ini memang malam) aku susah untuk memulai. Dari mana awal kata aku akan menuliskannya. Karena hingga kinipun kita masih memperdebatkan tentang awal. Apakah dimulai dari telur atau ayam? Apakah dimulai dari monyet Darwin atau Adam? Tapi kali ini aku tak ingin memperdebatkan soal penciptaan itu, aku hanya ingin mengatakan tentang Sang Pencipta. Aku telah temukan bahwa Tuhan telah mati. Ya, sudah mati.
Sahabatku, jangan engkau cepat tertawa, mengatakanku si atheis yang tak pernah berubah. Karena aku telah lama menderita oleh simbol-simbol atheis itu. Aku muak dengan sikap arogan para pengawal-pengawal tuhanmu. Bukankah kebenaran yang mereka katakan itu melebihi dari dari kuasa tuhannya? Penghakimanan yang mereka lakukan mendahului neraka yang kalian hayalkan. Aku takut di neraka nanti (bila neraka itu ada), justru mereka akan menjadi kayu bakarnya. Aku tahu surga dan neraka itu adalah ciptaan manusia, seperti penjara untuk kaum “pendosa” dan istana untuk kaum “yang benar”. Klaim kebenaran yang tunggal tak ubahnya dengan kekuasaan yang tunggal. Sama-sama menyesatkan. Adalah hak setiap orang bertanya tentang penciptaan dirinya, hak setiap orang memandang tentang tuhan.
Sahabatku seandainya saat ini mulutku dipaksa berkata saya adalah manusia yang bertuhan, aku akan mengatakan tuhan itu adalah saya. Tapi aku akan muntah berkata seperti itu, karena aku tak mau seperti tuhan. Bukankah tuhan simbol dari keabsloutan, sesuatu yang tak bisa dipertanyakan, esa adanya (itu teori-teorimu). Dan aku adalah mahluk yang masih terus berpikir dan bertanya-tanya. Aku bukan manusia absolut, kebenaranku masih bisa di perdebatkan, aku tak ingin menyesatkan oleh klaim-klaim kebenaran tunggal. Tapi aku pun bukan nabi, walau nabi selalu tak bisa diterima pada jamannya. Karena kebenaran bukanlah milik tunggal sang nabi, kebenaran adalah pencarian dari pencerahan kehidupan. Mata sang nabi saat itu mungkin lebih beruntung dapat membaca kebenaran itu, tapi sekali lagi aku katakan, kebenaran itu bukan miliknya. Dan itu bukan harga mati lagi.
Aku tak akan memberi nubuatan-nubuatan atau perkara-perkara keajaiban. Tak akan ada ramalan akan masa depan, atau akhir dari dunia ini yang akan aku katakan. Aku hanya berpikir dan berbicara. Melihat dan mendengar. Merasakan dan menyimpulkan. Semua itu penuh gejolak, seperti saat menerima kotbah-kotbahmu pada puluhan-puluhan kertas surat yang aku terima sepanjang hidupku. Aku berperang dengan diriku sendiri, hingga akhirnya logika-logika ku pun kalah. Dan pada suratmu yang terakhir kau berkata, bahwa tuhan menciptakan manusia bukan untuk menderita, tapi untuk bahagia.
Sahabatku, aku mencari kebahagiaan yang kau tawarkan. Aku ingin merasakan cuilannya. Tapi aku tak pernah mendapatkannya, aku tak menemukan kebahagian itu, aku tak menemukan tuhanmu. Apakah ia telah tuli dan buta? Aku telah terus mengetuk pintunya, dan tanganku telah bernanah. Aku telah meminta, mulutku berbusa tak ubahnya bagai orang kesurupan (mungkinkah aku kerasukan setan tuhanmu).
Jangan kau katakan aku terlalu lemah dan tak penyabar, bukan hanya aku yang merasakan itu. Jutaan anak negeri ini pun seperti itu. Negeri ini tak bertuan, negeri ini tak bertuhan lagi. Aku tak sendiri. Jutaan orang sudah muak dengan dogma usang yang mengatakan setiap penderitaan adalah kehendak tuhan, cobaan darinya. Tidakkah dia tahu bahwa manusia juga punya batas kelemahan dan kesabaran. Aku rasa dogma itu membunuh pikiran kita. Membunuh kesadaran kita untuk berusaha dengan akal sehat sendiri. Aku bukan mengajak berpikir soal materialis. Aku juga tak mau diajak berpikir tentang hal-hal suci yang semu, terlalu mistik bagiku.
Aku juga bukan hendak membujukmu untuk berpaling pada komunisme yang tak bertuhan. Justru komunisme itu bertuhan, malah bertuhan dari orang-orang yang bertuhan. Komunis memberhalakan tuhan, tuhan yang paling tolol dibanding tuhan-tuhan lainnya. Mereka memperjuangkan sistim aturan kehidupan, yang diperjuangkan itu adalah tuhan mereka. Komunis adalah tuhan yang dibangun dengan cara paling sadar. Kesadaran bahwa mereka adalah lemah, penuh ketakutan sehingga memerlukan sang penolong, sesuatu yang lebih agung dari mereka. Tuhan adalah kesadaran akan kelemahan. Tuhan adalah sistim aturan yang abadi bagi mereka. Sama seperti tuhan milik agama-agama yang menakuti manusia dengan neraka dan surga, tuhannya komunisme pun menciptakan surga dan neraka. Neraka dan surga itu diciptakan untuk menimbulkan kekhawatiran, sehingga ketakutan pada hukuman dan ketidakpastian itulah yang menyebabkan berlindung di bawah ajaran-ajaran yang dianggap sebagai kebenaran dan kepastian. Aku bisa menyimpulkan, komunis bukanlah pilihan hidup seperti juga halnya dengan agama-agama, selama kalian berpikir dengan cara pandang hasil yaitu surga. Sebuah perjuangan kebenaran yang suci tidak mengenal perhitungan, tidak memikirkan imbalan, semua seharusnya penuh pengorbanan dan kasih.(www.kompasiana.com)
Minggu, 18 April 2010
Cinta dan Perkawinan Menurut Plato
Cinta dan Perkawinan Menurut Plato
Satu hari, Plato bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?
Gurunya menjawab, “Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta”
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.
Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?”
Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik). Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat ku melanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak ku ambil sebatang pun pada akhirnya.”
Gurunya kemudian menjawab “Jadi ya itulah cinta”
Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, “Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?”
Gurunya pun menjawab, “Ada hutan yang subur didepan saja. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan”
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar/ subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.
Gurunya bertanya, “Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?”
Plato pun menjawab, “Sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi di kesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya.”
Gurunya pun kemudian menjawab, “Dan ya itulah perkawinan.”
Catatan kecil:
Cinta itu semakin dicari, maka semakin tidak ditemukan. Cinta adanya di dalam lubuk hati, ketika dapat menahan keinginan dan harapan yang lebih.
Ketika pengharapan dan keinginan yang berlebih akan cinta, maka yang didapat adalah kehampaan…tiada sesuatu pun yang didapat, dan tidak dapat dimundurkan kembali. Waktu dan masa tidak dapat diputar mundur. Terimalah cinta apa adanya.
Perkawinan adalah kelanjutan dari Cinta. Adalah proses mendapatkan kesempatan, ketika kamu mencari yang terbaik diantara pilihan yang ada, maka akan mengurangi kesempatan untuk mendapatkannya, Ketika kesempurnaan ingin kau dapatkan, maka sia-sialah waktumu dalam mendapatkan perkawinan itu. Karena, sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya.
Inilah cinta dan perkawinan yang berhasil dirumuskan oleh Plato lewat pengalamannya sendiri. Pelajarilah, renungkanlah, dan praktikkanlah.