“Siang malam mereka bekerja
Banting tulang bermandikan keringat
Pada sebuah tempat dimana mereka menggantung nyawa
Tuk hidupi keluarganya
Mereka rela korbankan jiwa…”
Awal bulan Mei adalah hari yang ditunggu oleh para kaum buruh se-dunia.Tepat pada tanggal 1 Mei mereka berkesempatan menyuarakan kepincangan nasib yang selama ini mereka alami.Namun ada satu kelompok buruh yang hari itu tidak bisa mengaspirasikan uneg-unegnya karena mereka sedang sibuk mengejar rupiah.golongan ini adalah para guru honorer atau guru tidak tetap(korban dari sistem kerja kontrak),yang kepastian nasibnya dikemudian hari belum jelas.Masih suram,sesuram wajah negri ini.
Para pekerja mulia ini,terus mengamalkan ilmunya pada generasi muda Indonesia agar kelak dikemudian hari mereka tidak bernasib sama dengan gurunya.Memang,nasib para guru-guru honorer sangatlah tidak mujur.Karena mereka tidak bisa menikmati penghargaan yang selayaknya mereka terima.Gaji mereaka punmasih lebih burukdari pada buruh-buruh pabrik dengan upah UMK.Para guru-guru ini mencari alternatif lain guna menghidupi keluarganya.Dari memberi les privat kepada muridnya,sampai menjadi pengamen guna mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Para pahlaan tanpa tanda jasa ini pun rela mendapat gajiyang tidak seberapa.Apalah yang dapat mereka perbuat.Guru-guru honorer sudah bosan menyampaikan tuntutan agar mereka diangkat menjadi guru tetap.Hanya bisa berharap bila tinggal di negri burung garuda ini,karena harapan itu sudah meredup bagai lilin yang tertip angin semilir.Hanya keadilanlah yang meraka harapkan.
Tidak salah bila mutu pendidikan di Indonesia tetap stagnan,bahkan terkesan mundur.Tenaga pengajarnya gajinya sangat minim.Siapa yang maubekerja keras ,tapi hanya menerima upah yang sangat minim.Namun guru-guru ini terus berusaha dengan ikhlas mencerdaskan anak bangsa.Karena suatu ilmu adalah suatu hal yang tidak dapat ditukar dengan apapun,apa lagi dengan lembaran-lembaran rupiah.
“Sang Oemar Bakrie hanya bisa berharap pada kecurangan nasib yang menimpa dia
Keluar dan terus berjuang tuk pahitnya hidup ini…”